Moral Kemasyarakatan (Civic Virtue) dan Budaya Kemasyarakatan (Civic Culture)


Suasana menjelang reformasi pada Jumat 21 Mei 1998 (www.tribun-timur.com)

Versi PDF: Moral Kemasyarakatan (Civic Virtue) dan Budaya Kemasyarakatan (Civic Culture)

Definisi Moral Kemasyarakatan (Civic Virtue)

Secara etimologis, civic berasal dari kata Latin civitas yang berarti civilized atau tinggal di dalam sebuah kota yang beradab dan berbudaya. Virtue berasal dari kata Latin virtus yang berarti moral atau kebaikan. Kata Latin untuk menyebut ‘kota’ adalah polis. Dalam konteks kontemporer, ‘negara’ seringkali dipandang secara ideal sebagai sebuah pusat peradaban atau kebaikan (moral), sementara ‘kota’ dipandang secara buruk sebagai pusat kriminalitas.

Jadi, moral kemasyarakatan atau civic virtue adalah perilaku wargakota/ warganegara yang meliputi ikut serta dalam voting (pemungutan suara/ pemilihan umum), mematuhi peraturan dan hukum, dan ikut serta dalam menilai dan memutuskan fakta dalam perkara yuridis (panitia juri).

Konsepsi klasik dari civic atau aktivitas politik memiliki perbedaan dengan apa yang dipahami dalam konteks kekinian. Pada era Yunani Kuno dan Romawi Kuno, berpartisipasi dalam politik dalam bentuk demokrasi termasuk dalam hal pembuatan aturan perundang-undangan sebagai perlindungan masyarakat dianggap sama mulianya dengan menjalin persahabatan, ikut berperang, memuja para dewa, dan mendiskusikan filsafat. Beberapa dari hal ini masih ada hingga kini dengan beberapa pengecualian.

Melalui sejumlah pemikiran-pemikiran era Yunani kuno, khususnya pemikiran mengenai etika Yunani, terdapat sesuatu yang disebut pandangan pilihan berganda mengenai arti kehidupan, yang disebut sebagai konsepsi kebaikan, sebagaimana disebutkan oleh filsuf John Rawls.

Kebajikan atau moral dipandang oleh orang-orang Yunani sebagai pengarahan pada diri sendiri (dalam bentuk keunggulan pribadi yang sudah ada dalam diri) dan sekaligus sebagai pengarahan luar. Pengarahan luar misalnya keunggulan yang didapat melalui kepedulian terhadap hal-hal di luar diri sendiri, termasuk tidak saja hal-hal abstrak seperti keindahan dan kepercayaan tetapi juga hal-hal konkrit seperti pertemanan dan kepentingan umum (sebagai yang terpenting).

Polis Athena kuno (pada masa Yunani kuno) mempraktekkan suatu politik yang berbasis pada idealisme civic virtue yang diwujudkan sebagai penampilan publik dalam hal ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang terhormat. Civic Virtue membentuk identitas individu melalui kewarganegaraan. Budaya Athena pada saat itu menekankan suatu perilaku warganegara dalam masyarakat sebagai dasar bagi penilaian seseorang. Anggapan semacam itu dituliskan dengan huruf miring pada sebuah prasasti di kota kuno Yunani sebagai berikut: “Orang yang tidak memiliki urusan publik tidak mempunyai bisnis”. Bahkan pada saat itu terdapat anggapan bahwa orang yang tidak memiliki suara dalam urusan publik disebut sebagai: idiot.

Sebagai model dari organisasi sosial, civic virtue menguasai wilayah pribadi sebagaimana halnya norma politik yang mengatur bagaimana seharusnya seseorang itu dinilai. Hal ini tidak meninggalkan penahan dampak (buffer) antara kehidupan sosial dan kehidupan politik.

Suatu kebajikan (virtue) individu bukanlah suatu karakteristik seseorang tetapi merupakan suatu kualitas publik yang harus disesuaikan dengan ide-ide dan standar-standar yang tertulis dalam undang-undang dan adat istiadat dari masyarakat secara keseluruhan. Politik moral kemasyarakatan (civic virtue) menekankan kepentingan publik melalui penundukan kepentingan diri sendiri terhadap ranah publik atau umum.

Keunggulan (excellence) merupakan kualitas kemasyarakatan yang menggambarkan pengertian masyarakat atas kebaikan moral sebagai karakteristik publik ketimbang sebagai karakteristik individu. Civic virtue memproyeksikan suatu visi moral dari pilihan pribadi dan tindakan-tindakan yang diatur melali otoritas kewenangan dari komunitas politik. Jadi, bukan ditentukan oleh kedaulatan atau aktor-aktor individu. Pandangan ini ditunjukkan melalui kesepadanan (conformity) dari aktor-aktor tertentu terhadap kehendak masyarakat. Kewenangan politis masyarakat tidak mengarah pada fakta-fakta tegas bahwa itulah sumber moralitas tetapi bahwa masyarakat hadir sebagai moralitas.

Moral kemasyarakatan (Civic virtue) juga berarti melibatkan komunitas dan masyarakat di mana seorang warganegara atau wargakota menjadi bagian dari komunitas dan masyarakat itu. Sehingga, apa yang dilakukan seorang warganegara atau wargakota menunjukkan seberapa baik civic virtue yang ia lakukan.

Ungkapan yang terkenal mengenai civic virtue diucapkan oleh Presiden Amerika Serikat, John Fitzgerald Kennedy, bahwa:

Ask not what your country can do for you, but what you can do for your country.”


Pemerintah tidak dapat menciptakan infrastruktur sosial, namun dapat dikatakan bahwa upaya-upaya perorangan untuk mendukung program-program kewiraswastaan, sosial, dan budaya dan menentukan manakala pemerintah dapat membantu dalam hal ini. Investasi sosial dapat langsung diarahkan pada pembangunan kembali otoritas dari lembaga-lembaga utama seperti sekolah dan kepolisian. Namun, warganegara-warganegara yang memiliki hak pilih dalam pemungutan suara dapat saja mendukung investasi seperti ini sepanjang mereka disertai dengan adanya gerakan-gerakan secara serempak untuk menggantikan sistem kesejahteraan (welfare system) yang ada dengan sistem lain yang meningkatkan kinerja pemerintah dalam hubungannya dengan kepentingan umum (civic), sosial, atau kewarganegaraan ini.

Apakah moral kemasyarakatan (civic virtue) harus dijadikan suatu kewajiban warganegara? Civic virtue ini dapat saja diajarkan. Namun, jelas civic virtue atau moral kemasyarakatan bukanlah sesuatu yang dipaksakan harus dilakukan oleh seorang warganegara atau wargakota oleh karena hal itu merupakan ekspresi dari kebebasan.

Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengajarkan civic virtue kepada generasi muda dan para imigran dan diperbaharui atau diperkuat lagi dengan adanya organisasi-organisasi berbasis masyarakat (seperti organisasi kemasyarakatan atau ormas) dan gerakan-gerakan untuk keadilan sosial.

Para pendidik dapat mengajarkan bahwa penghargaan terhadap diri sendiri bukan ditingkatkan dengan menjadikan asal muasal seseorang sebagai kebanggaan semata, tetapi yang lebih penting adalah dengan memperoleh kebanggaan diri melalui kemahiran atau penguasaan dalam civic virtue. Para pembuat kebijakan harus menggandengkan hak-hak dan kewenangan dengan kewajiban-kewajiban dan insentif-insentif yang dapat memelihara kepercayaan diri dan komitmen secara penuh.

Ketika kebudayaan dan tradisi alternatif mengalami konflik maka hal-hal yang terlebih dahulu lah yang harus berlaku. Dapat diargumentasikan bahwa untuk diperlukan suatu upaya untuk memurnikan suatu budaya masyarakat yang bersih dari rasisme, unsur-unsur elitis atau sektarian. Masyarakat dapat saja menghendaki bahwa budaya masyarakat menyelenggarakan pilihan atau kecenderungannya sendiri untuk meninggalkan upaya-upaya untuk membentuk nilai-nilai bersama. Pilihan untuk asimiliasi kultural dapat ditempuh oleh masyarakat.

Definisi Budaya Kemasyarakatan (Civic Culture)

Istilah budaya kemasyarakatan atau civic culture diciptakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba pada tahun 1963 untuk menjelaskan perilaku hubungan politik dan sosial yang diianggap penting bagi keberhasilan demokrasi modern. Dengan menggunakan teknik-teknik penelitian survai pada saat itu, Almond dan Verba melakukan pengkajian di lima negara, yakni: Inggris, Jerman, Italia, Meksiko, dan Amerika Serikat. Namun, dalam proses pengkajian mereka maka terjadi perubahan studi politik komparatif yang menjauh dari kecenderungan eksklusif dengan analisis mendasar terhadap studi perilaku komparatif.

Pada era kota-kota besar klasik (romantisme) banyak menginspirasikan kebanggaan kolektif dan fungsi dari pemerintahan kota dalam upaya untuk mendorong warganegara atau wargakota untuk berpartisipasi dalam proyek bersama bagi kepentingan semua pihak. Masyarakat mengagungkan dan mengagumi proyek-proyek umum seperti jembatan, kereta bawah tanah, taman-taman, saluran sungai, pelabuhan, dan bangunan-bangunan publik. Masyarakat penuh dengan kebanggaan atas civic culture seperti museum, acara-acara publik, dan karya seni yang cemerlang.

Dewasa ini, kelompok-kelompok pembahas diskusi, kelompok-kelompok pemerhati isu tertentu, dan wargakota-wargakota yang bertindak sebagai juri dalam pengadilan telah dikategorikan sebagai bagian dari teknik-teknik konsultatif oleh karena keprihatinan pemerintah nasional dan regional mengenai menurunnya civic culture dan berkurangnya perkembangan demokrasi dan sebagai akibat dari menurunnya tingkat kepercayaan warganegara atau wargakota terhadap pemerintah dan politik-politik dalam demokrasi.

Tujuannya adalah untuk melibatkan lebih banyak cakupan warganegara atau wargakota dan mereka yang memiliki andil (stakeholders) dalam pembuatan keputusan di suatu daerah sebagai pembelajaran bagi masyarakat, mengatasi (counterattack) sinisme dan animo masyarakat terhadap pemerintah (disengagement) (Reddel and Woolcock 2004 dalam Nicola Brackerz, Ivan Zwart, Denise Meredyth and Liss Ralston, 2005:14).

Secara singkat dapat diterangkan bahwa lazimnya konsepsi kewarganegaraan (citizenship) pada pertengahan abad ke-20 dianggap sebagai kewajiban. Kewajiban-kewajiban warganegara atau wargakota ini termasuk dalam hal partisipasi dalam pemilihan umum, membayar pajak, dan kerelaan untuk mengabdi dalam bidang militer. Sebaliknya, para warganegara atau wargakota mengharapkan agar hak-hak sipil mereka, hak politik, dan hak-hak sosial dan ekonomi tertentu dapat dilindungi oleh pemerintah.

Menurut Almond dan Verba (1963) bahwa budaya kemasyarakatan (civic culture) mungkin merupakan gambaran terbaik dari budaya politik. Budaya politik merupakan asal dan perkembangan dari konsepsi kewarganegaraan yang disebut sebagai civic culture ini.

Menurut mereka, diperlukan suatu budaya politik yang ditandai dengan klasifikasi partisipan (delegasi atau peserta), warganegara sebagai subjek, dan parokial yang berlipat tiga (threefold) di mana terdapat kemungkinan terjadinya kewarganegaraan tingkat tinggi yang berhubungan dengan seseorang yang dengan penuh pengabdian menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai warganegara.

Klasifikasi demikian merupakan contoh dari cara berpikir yang berhubungan dengan pandangan mengenai kewarganegaraan yang berdasarkan pada kewajiban (duty-based) ini.

Di dalam pengkajian Almond dan Verba pada konteks awalnya, nilai-nilai dan sikap-sikap yang ikut dalam mempertahankan lembaga-lembaga demokratis yang partisipatoris berhubungan dengan bagaiamana suatu masyarakat berhadapan dengan kepentingan mereka sendiri.

Civic culture (budaya kemasyarakatan) sifatnya pluralistik dan berbasis pada komunikasi dan persuasi sebagai sebuah budaya dari kesepakatan dan keberagaman. Budaya ini membolehkan adanya perubahan tetapi dengan tingkat yang rendah. Hal ini merupakan bagian budaya politik yang mengarah pada orientasi politik khusus terhadap sistem politik dan berbagai variasinya dan sikap-sikap ke arah pengaturan diri dalam sistem itu.

Kemudian, dalam posisinya atas nilai-nilai umum dan sikap-sikap yang dimiliki bersama masyarakat, maka budaya politik dirumuskan sebagai suatu hubungan keterkaitan antara mikropolitik dan makropolitik.

Almond dan Verba menjelaskan tiga tipe dari budaya politik sebagai berikut:

  1. Parokial, yakni tidak terdapat perbedaan yang tegas mengenai aturan-aturan politik tertentu dan harapan-harapan muncul di antara para aktor seperti rendahnya spesialisasi politik.
  2. Subjek warganegara, yakni adanya perbedaan-perbedaan lembaga dan aturan dalam kehidupan politik, tetapi mengarah pada pendirian warganegara atau wargakota dalam hubungannya secara pasif secara mayoritas.
  3. Partisipan, yang ditandai dengan hubungan antara lembaga-lembaga khusus dan pendapat warganegara atau wargakota dan aktivitas yang saling berhubungan (interaktif).

Masyarakat kini cenderung untuk menunjukkan kombinasi dari ketiga budaya politik ini termasuk juga karakteristik-karakteristiknya. Misalnya dalam hal menunjukkan karakteristik partisipan di mana tindakan-tindakan partisipatoris berbasis pada anggapan rasionalitas yang dengan cara demikian keharmonisan budaya politik dan struktur politik terjadi.

Civic culture (budaya kemasyarakatan) yang menekankan pada partisipasi rasional dalam kehidupan politik digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan subjek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dan penggabungannya dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan keseimbangan aktivitas politik, keterlibatan dan adanya rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai parokial.

Di Eropa, kepuasan publik utama dengan keadaan politik dan kehidupan dan juga tingkat kepercayaan antara anggota masyarakat sangat berhubungan dengan adanya lembaga-lembaga politik dan kemakmuran relatif dari masyarakat. Dalam hal ini terdapat pandangan bahwa demokrasi yang terus dapat berjalan tidak tergantung pada faktor-faktor ekonomi semata. Faktor-faktor budaya tertentu juga penting, dan hal ini berhubungan dengan ekonomi dan pembangunan makropolitik. Demokrasi yang stabil menunjukkan interaksi ekonomi, politik dan faktor-faktor budaya.

Almond dan Verba juga berargumentasi bahwa jika sebuah sistem politik demokrasi yang memberikan kebebasan partisipasi politik bagi warganegaranya maka budaya politik demokrasi harus terdiri dari kepercayaan, perilakum, norma, persepsi dan partisipasi dukungan. Dalam hubungannya dengan orientasi nilai yang merupakan asumis dari karakter dalam partisipasi politik, maka dalam hal ini tidak ada unsur emosional atau adanya keterlibatan sentimen seseorang.

Konstelasi Masyarakat dalam Moral Kemasyarakatan (Civic Virtue) dan Budaya Kemasyarakatan (Civic Culture)

Seorang anggota masyarakat ikut serta dalam civic virtue dan civic culture karena beberapa hal. Hal-hal seperti pemenuhan kepentingan, adanya hasutan dari orang lain, adanya faktor kesamaan kegemaran, dan juga karena adanya perolehan pengetahuan sehingga seseorang menjadi lebih educated.

Masyarakat menjadi tertarik dalam tindakan civic bukan saja karena seseorang itu sebagai warganegara subjek yang penting. Pemenuhan kepentingan seseorang adalah salah satu alasan mengapa seseorang tertarik dalam tindakan civic.

Terdapat suatu ketidaknyamanan apabila seorang warganegara tidak memiliki hak suara yang berarti tidak ada yang dapat dilakukan seseorang itu sebagai bagian dari komunitasnya. Pada akhirnya, apabila kekecewaan pada skala besar akan berakibat pada munculnya masyarakat dengan kemiskinan, kekerasan, penyakit, keterbelakangan, dan ketidakmampuan membaca (iliterasi).

Akibat ini bisa berakumulasi pada jutaan warganegara yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam menurunkan pertanggungjawabannya sebagai warga negara. Merupakan suatu keinginan kuat dalam masyarakat untuk mempelajari bagaimana menjadi lebih efektif sebagai warganegara atau wargakota.

Masyarakat ingin belajar bagaimana menjadi seorang manusia sejati. Mereka telah melihat efek merusak dari spesialisasi skala mikro dalam apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari pada saat mereka bekerja atau melakukan sesuatu.

Hal lain yang mempengaruhi seseorang sebagai warganegara bisa saja dari faktor abstrak seperti dicemooh orang lain atau diperolok orang lain. Ketika seseorang membicarakan mengenai nasib suatu sekolah yang harus digusur, maka muncul upaya pembelaan untuk menjelaskan bahwa banyak perusahaan melakukan penggusuran itu hanya untuk menghasilkan lebih banyak uang dengan membuat gedung baru yang komersial, dan juga bisa karena riwayat hidup sang pengawas sekolah akan terlihat lebih baik jika membangun sekolah baru sebelum berpindah ke posisi yang gajinya lebih besar.Tindakan-tindakan civic seluruhnya berhubungan dengan pengalaman yang dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari masyarakat.

Lebih lanjut, hal seperti keterlibatan anggota masyarakat dalam proses sosialisasi justru terdapat orang-orang yang sependapat. Hal ini tentu menjadi suatu kegembiraan bagi orang-orang untuk dapat menemukan komunitas yang dapat memenuhi kegemaran atau hobinya masing-masing.

Dan yang keempat adalah ada suatu antusiasme untuk mempelajari bilamana seorang warganegara atau wargakota terlibat dalam permasalahan sosial yang rumit. Dengan cara demikian banyak yang dapat diperoleh sebagai pengetahuan.

Seseorang menjadi terdidik dengan cara seperti itu ketika ada keterlibatan dalam mengurusi isu sosial yang rumit tersebut. Misalnya adalah ketika berurusan dengan polusi di lingkungan tempat tinggal, maka yang diupayakan sebagai solusi pasti berhubungan dengan estetika hingga sejarah, ekonomi hingga administrasi, pemasaran hingga fisika, dan teknik hingga kesehatan publik. Setiap isu sosial sifatnya tidak terputus-putus. Masalah sosial itu ibarat suatu jaring-jaring yang terus berkaitan.

Sumber:

Almond, Gabriel and Verba, Sidney. 1965 [1963]. The Civic Culture: Political Attitudes       and Democracy in Five Nations. Boston:  Little, Brown and Company.

Brackerz, Nicola et al. 2005. Main Report Community Consultation and the ‘Hard to         Reach’: Concepts and Practices in Victorian Local Government. Australia: Swinburne Institute for Social Research.

Wren, Thomas. 2006. Civic Virtue is Not Enough. Loyola University Chicago. Presented at The Conference for the Association for Moral Education at University of Fribourg             (Switzerland)

http://www.citizendium.org

http://www.duniaesai.com

http://www.filipecarreiradasilva.net/pdf/BOUDON54ClarkDaSilva.pdf

http://www.floresville.isd.tenet.edu

http://www.vcn.bc.ca

Microsoft Encarta 2009

Tentang protuslanx

Protus-Lanx adalah sebuah alter-ego dari seorang manusia yang terus berusaha memperbaharui diri setiap hari. Temperamental, setia melaksanakan tugas, keras kepala, berpendirian teguh, tidak mudah mempercayai orang lain, dan cenderung serius.
Pos ini dipublikasikan di Atmosfer-Lanx dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar